Kamis, 28 Oktober 2010

KONDISI KESUSASTRAAN MASA UMAYYAH

Para khalifah Umayyah berasal dari keturunan Arab yang murni. Mereka memahami sastra, meresapi puisi bahkan menghiasi retorikanya dengan gaya bahasa yang indah. Dapat disebutkan di sini, para khalifah yang memiliki perhatian kuat terhadap pertumbuhan sastra antara lain, Mu’awiyah, Abdul Malik bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik, bahkan di antaranya adalah adalah seorang penyair, seperti Walid bin Abdul Malik.[4] Perhatian para khalifah ini, memiliki dampak yang sangat bagus dalam aktivitas kesastraan.

Para khalifah dinasti Umayyah menganggap bahwa pujian seorang penyair yang didedikasikan kepadanya merupakan bukti keberpihakan penyair itu dan kabilahnya kepada sang khalifah. Bagaimanapun, penyair pada masa itu, tak ubahnya seperti koran, televisi, radio pada saat ini, yang memiliki kekuatan politis dan mampu membentuk public opinion yang sangat kuat.

Setiap penyair tidak terlepas dari fungsi politis ini. Mereka mendukung partai, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Ada juga yang harus berlaku munafiq dengan mengatakan sesuatu yang tidak diyakini, menentang perasaan sendiri demi penguasa dan keselamatan, atau demi mengharapkan pemberian hadiah dari para khalifah dan pejabat. Puisi telah menjadi potret atau cermin carut-marut, riuh-rendah silang pendapat yang terjadi antarpartai dan kelompok. Perbedaan pendapat yang tajam antara penyair dinasti Umayyah dan penyair Bani Hasyim. Di samping kedua kelompok penyair yang bertikai di atas, masih terdapat lagi para penyair yang menyokong aliran pemikiran dan mazhab yang berbeda.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan bahasa dan sastra. Di antaranya adalah:

1. Munculnya aliran-aliran politik dan sekte-sekte agama yang berimplikasi pada rekruitmen penyair sebagai pembela keyakinan bagi masing-masing kelompok. Di sini, adu retorika dalam bahasa satiris berubah menjadi pertikaian atau verval contest yang ramai
2. Banyak peperangan dan fitnah yang terjadi di sentaro negeri. Peristiwa-peristiwa ini diabadikan dalam puisi secara detil, bahkan terkadang para penyair juga terlibat dalam pertikaian tersebut.
3. Perhatian para khalifah terhadap puisi begitu besar, bahkan beberapa khalifah adalah juga penyair yang selalu memotivasi perkembangan puisi, mengkritik dan menjadi penikmat puisi yang loyal.
4. Menghidupkan kembali fanatisme kesukuan. Masing-masing suku mengunggulkan diri sendiri dengan puisi ‘fakhr’ dan menjatuhkan yang lainnya dengan puisi satire. Maka terjadilah pertikaian antara bani Adnan dan orang-orang Yaman, antara bani Rabi’ah dan bani Mudar, bani Qais dan bani Tamim. Pertikaian itu dilokalisir dalam pasar al-marbad di Basrah dan pasar al-kinasah di Kufah.
5. Adanya politik azaz manfaat antara khalifah dan para penyair. Di satu pihak para khalifah memanfaatkan penyair untuk dijadikan aparat hegemoni, di pihak lain para penyair mendapatkan fasilitas kemewahan yang berlimpah dan kedudukan yang mulia selama mereka mampu diajak berkompromi untuk berkompetisi dengan verbal contest dalam puisi pujian dan satire. Dengan alasan ini, banyak orang yang menjadikan penyair sebagai profesi yang menjanjikan karena puisi mereka bisa ditukar dengan uang untuk kebutuhan hidup. Di samping itu, terdapat faktor lain yang menjadikan perkembangan sastra pada masa ini lebih baik, yaitu ;
6. Munculnya majelis-majelis kritik sastra. Pada masa ini, terdapat para ahli bahasa dan sastra yang biasa menimbang puisi dan menganalisisnya. Akibatnya, para kritikus ini menempatkan satu penyair di atas yang lain yang berimplikasi dengan usaha para penyair untuk memperbaiki puisinya agar tidak menjadi bahan pelecehan bagi para kritikus.[5]

Tidak ada komentar: