Kamis, 24 Februari 2011

Kontemporer

Malam Pembredelan

Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya
Mereka menggigil di bawah hujan sejak sore
Bersiap menyaksikan kematiannya
Malam sangat ngelangut, seperti masa muda
Yang harus bergegas ke pelabuhan
Meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan

Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
Menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
Dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
Di cangkir ungu, ambil bersiul dan sesekali berlagu.

“Selamat datang, saya sudah menyipakan semua
yang akan saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki.”

Ia berdiri di pintu ambang.
Di tatapnya wajah pembunuh itu satu-satu
Mereka gemetar dan memandang ragu
“Maaf kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
Di sekitar bola mata Anda.”

“Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan berbalik menyerang Saudara.”

“Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakan.”

“Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata.”

Tanpa kata-kata gerombolan pembunuh itu berderap pulang
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
Lenyap di telan malam dan hujan

Sementara di atas seratus halaman majalah
Yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:

Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala
adalah cakrawala yang berebut saya

lalu ia tidur pulas
segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya

karya Joko Pinurbo (1995)

***

Gambar Porno di Tembok Kota
untuk A. S. A

Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin memamerkan kecantikan:

wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar
yang dirimbuni semak berduri.

Dan malam itu datang seorang pangeran
dengan celana komprang, baju kedodoran, rambut
acak-acakan. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.

“Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
yang tawanya ngakak membikin ranjang reot
bergoyang-goyang, yang jalannya sedikit goyah
tapi gagah juga. Selamat malam Alwy.”

“Selamat malam, Kitty. Aku datang membawa puisi.
Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
yang penuh pekik dan basa-basi.”

Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar
mencercar bunga-bunga layu yang bersolek di bawah
cahaya merkuri. Dan inilah situasi politik memungkinkan,
tentu akan semakin banyak yang gencar bercinta
tanpa merasa waswas akan ditahan dan diamankan

“Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
Ledakan puisimu di nyeri dadaku.”
“Tapi aku bukan binatang jalang, Kitty.
Aku tak pandai meradang, menerjang.”

Sesaat ada juga keabadian, diusapnya pipi muda,
leher hangat dan bibir lezat yang teracam kelu.
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri pada sembilu.

“Aku Sayang Mas Alwy yang mata beringas
tapi ada teduhnya. Yang cintanya ganas tapi ada lembutnya.
Yang jidatnya licin dan luas, tempat segala kelakar
Dan kesakitan bergadang semalaman.”

“Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
meski kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak risau. Maaf, Aku tak punya banyak waktu
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika cuma untuk menjadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?”

“Terima kasih, gadisku.”
“Peduli amat, Penyairku

karya Joko Pinurbo (1996)

***

Terkenang Celana Pak Guru
Masih pagi sekali, bapak guru sudah siap di kelas
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk
kemudian terkulai di atas meja
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk
sambil mengucapkan: “Selamat Pagi Bapak Guru.”
Bapak guru tambah nyeyak. Dengkur dan air liurnya
Seakan mau mengatakan: “Bapak sangat lelah.”

Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak guru telah berjanji
Menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: “Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hapalkan semua nama dan peristiwa.”

Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rit celananya yang setengah terbuka
seakan mau mengatakan: “Bapak habis lembur semalam.”
Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: “Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini.”

Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam
di bekas lahan sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kubura.
“Silakan,” katanya.
“Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru
“Kau ingat rit celananya yang setengah terbuka?”
“Tenang. Jangan mengusik ketentramannya,”
aku memperingatkan.

Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih
dan tenang.” Kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
“Kelak aku juga ingin dikubur di sini,” sambungnya.
“Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku.
Sementara si penjanga kuburan yang celananya congklang
dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kemboja.

Karya Joko Pinurbo (1997)

Tidak ada komentar: