Aku yang tertikam
kehidupan. Lelah disiksa dengan keadaan yang tak pasti. Semua serba semu.
Bahkan semua tampak jelas pada diriku. Untuk sebuah nama yang sebagaimana
dikata William Shakespeare, apa arti sebuah nama. Tapi bagiku tidak begitu,
nama adalah gambaran dari diri seorang. Dan aku bernamakan Tanya. Ya, entah
bagaimana kedua orang tuaku berfikir hingga kata tanya menjadi pilihannya untuk
inisial gadis yang dengan ribuan tanda tanya ini. Meski aku punya kata lain
setelah Tanya, tapi tetap mereka para manusia memanggilku Tanya. Tak pernah
menyapaku dengan nama akhirku Shafia yang jauh lebih indah. Dan mungkin hidupku
tak akan seberat ini. bukan aku tak bersyukur. Tapi inilah kenyataan yang
begitu keras.
Untuk hitungan tahun aku
harus rela mengumpulkan kilogram keringat untuk dapat bertahan hidup. Lalu
untuk hitungan bulan yang hanya punya tiga puluh hari yang dikata mereka para
atasan teramat singkat. Aku harus rela mengorbankan waktu mudaku. Bahkan dalam
kumpulan jam yang berderet angka satu hingga dua puluh empat aku harus rela
memutar otakku dari tempat awalnya. Menjungkirkannya dari kepala ke bagian
paling kotor, telapak kaki. Entah kepada siapa aku harus menyalahkan
kehidupanku. Orang tuaku? Sejak aku mengenal usia satu tahun, aku tak pernah
melihat kedua wajah mereka. Untuk selembar photopun tak pernah sedetikpun.
Hingga aku sempat berfikir jika aku terlahir bukan dari seorang wanita, tapi
aku terlahir dari letupan granat, bom atau yang lainnya. Benda yang selalu
dihindari banyak insan karena tingkah lakunya yang kan meresahkan semua
penduduk bumi. Tapi aku kembali berfikir logis, jika tak ada manusia dibumi ini
yang lahir seperti timun mas dalam dongeng penimang upin-ipin dan kawannya.