Aku yang tertikam
kehidupan. Lelah disiksa dengan keadaan yang tak pasti. Semua serba semu.
Bahkan semua tampak jelas pada diriku. Untuk sebuah nama yang sebagaimana
dikata William Shakespeare, apa arti sebuah nama. Tapi bagiku tidak begitu,
nama adalah gambaran dari diri seorang. Dan aku bernamakan Tanya. Ya, entah
bagaimana kedua orang tuaku berfikir hingga kata tanya menjadi pilihannya untuk
inisial gadis yang dengan ribuan tanda tanya ini. Meski aku punya kata lain
setelah Tanya, tapi tetap mereka para manusia memanggilku Tanya. Tak pernah
menyapaku dengan nama akhirku Shafia yang jauh lebih indah. Dan mungkin hidupku
tak akan seberat ini. bukan aku tak bersyukur. Tapi inilah kenyataan yang
begitu keras.
Untuk hitungan tahun aku
harus rela mengumpulkan kilogram keringat untuk dapat bertahan hidup. Lalu
untuk hitungan bulan yang hanya punya tiga puluh hari yang dikata mereka para
atasan teramat singkat. Aku harus rela mengorbankan waktu mudaku. Bahkan dalam
kumpulan jam yang berderet angka satu hingga dua puluh empat aku harus rela
memutar otakku dari tempat awalnya. Menjungkirkannya dari kepala ke bagian
paling kotor, telapak kaki. Entah kepada siapa aku harus menyalahkan
kehidupanku. Orang tuaku? Sejak aku mengenal usia satu tahun, aku tak pernah
melihat kedua wajah mereka. Untuk selembar photopun tak pernah sedetikpun.
Hingga aku sempat berfikir jika aku terlahir bukan dari seorang wanita, tapi
aku terlahir dari letupan granat, bom atau yang lainnya. Benda yang selalu
dihindari banyak insan karena tingkah lakunya yang kan meresahkan semua
penduduk bumi. Tapi aku kembali berfikir logis, jika tak ada manusia dibumi ini
yang lahir seperti timun mas dalam dongeng penimang upin-ipin dan kawannya.
Tanya Shafia, aku terlahir
ditanah yang dikata orang surga dunia. Bali. Tapi hingga detik ini, aku tak
lagi melangkahkah kaki ini pada tanah surge itu. Salah satu kota yang lebih
terkenal dari negaranya. Ya, karena banyak diantara wisatawan mancanegara lebih
mengenal Bali dari Indonesia. Tapi sejak aku mengenal teriknya mentari dan
dinginnya kegelapan rembulan hingga usiaku 19 aku tak pernah sesekali menginjak
kota surga itu.
Bagaimana aku bisa
traveling menikmati indahnya kota kelahiranku, untuk sekedar menikmati
nikmatnya tidur pagi saja aku tak pernah. Bahkan sejak adzan subuh berkumandang
aku harus segera mengunjungi ratusan rumah, membawa gerobok sampah, ya
begitulah pekerjaan harianku. Kurang dari layak dengan usia yang sedini itu.
Tapi apa daya, aku hidup dengan perempuan gendut yang biasa kupanggil bu lek. Sekali
lagi aku memanglah Tanya yang selalu penuh tanda tanya. Bu lek yang selama ini
mengurusku, jauh dari kata layak mengurus seorang keponakan yang masih butuh
untuk dididik dengan pendidikan sekolah formal. Dan untuk Bu Lek Asmirah
satu ini. Di pagi hari aku dipaksa untuk berkeliling dari satu rumah kerumah
untuk memungut sampah. Lalu saat siang menjemput aku dipaksa untuk menjualkan
jajanan cilok, junk food, dan lainnya disekolah-sekolah yang jaraknya tak bisa
dibilang dekat, sekitar dua puluh kilometer aku harus mengayuh sepeda mini
dengan gerobak jajanan dibelakangku, dan itu tak seringan seperti membonceng
anak kecil dengan umur lima tahun. Hingga sore menjemput, aku kembali pulang
untuk segera menaruh seluruh gerobak jajan siang tadi. Aku membersihkan diri
dan segera bersiap meneruskan kerja rodiku. Menjadi pengamen jalanan yang turun
dari satu bus ke bus lainnya.
Mungkin inilah aku yang
seperti lilin, rela membakar tubuhnya sendiri untuk mengeluarkan cahaya. Memang
begitulah kehidupan. Terkadang untuk sesuatu yang lebih indah diri kita harus
rela berkorban, tanpa peduli jika itu menyakiti diri kita. Tapi sebentar,
sesuatu yang lebih indah? Sampai kapan aku harus menunggu sesuatu yang lebih
indah? Bukankah dalam riwayat hidupku tak ada kata kata indah setelah sekian
lama kesusahan menjerat. Masih ingin mengharap keindahan? Dari mana keindahan
itu berjalan menemuiku, menurutku keindahan itu tersesat dan ia tak pernah
menjumpaiku sesekalipun.
Hari-hariku tak ada yang
lebih indah selain bisa bertemu dengan mereka-mereka pemilik rumah yang selalu
aku datangi dikala pagi, dan mereka para anak-anak dengan seragam putih merah,
putih, dongker, dan putih abu-abu, hingga mereka yang duduk dibangku-bangku bus
antar kota. Meski diantara mereka tak banyak yang tersenyum tulus, tapi aku
harus tetap memberikan senyuman seikhlas mungkin untuk mereka yang terkadang
teramat menyebalkan. Jika boleh memilih, aku lebih baik menjadi tanah atau
langit, yang hanya bisa melihat anehnya semesta beserta isinya. Yang kini telah
hilang rasa kemanusian seorang manusia. Entah karena hari ini dunia telah
menua. Atau memang mereka yang tak pernah punya rasa kemanusiaan.
Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah kutemukan jawabannya.
Bukan hanya itu yang
selalu membelenggu isi otak ini. Ketidakpercayaanku akan dunia luar yang begitu
indah juga masih menjadi pertanyaan yang hanya bisa aku temukan dari
gambar-gambar dalam layar kotak yang selalu ada disudut ruang setiap rumah.
Bukan tak percaya, tapi sampai detik ini aku tak pernah sekali melangkah tuk
keluar dari rutinitas sehariku. Hanya untuk sekedar melihat betapa indahnya
ciptaan tuhan. Lain dari itu ribuan pertanyaan masih mengganjal dalam setiap
hidup ini. ya, pertanyaan tentang kehidupan pribadiku, pertanyaan bagaimana aku
bisa sampai di kota Malang, yang seharusnya aku tumbuh dan besar dengan kedua
orang tua yang penuh kasih sayang di kota Bali yang penuh dengan merdunya
nyanyian ombak disepanjang jalannya. Apa mungkin aku seperti Musa yang
dihanyutkan dalam sungai hingga aku ditemukan oleh seorang perempuan bernama
Asmirah. Entahlah hanya tuhan dan waktu yang bisa menjawab semua pertanyaan
seorang Tanya, gadis yang tak pernah dianggap manusia lain karena kebodohan dan
kehinaan yang dunia buat.
1 komentar:
Posting Komentar