Rabu, 19 Februari 2014

Sepenggal cerita di Ocean




Ku awali di tanggal 9 januari. Kutapakkan kaki ini di bumi Pare kabupaten Kediri. Kubulatkan tekad ini, kulepaskane liburan semester lima ini. Lalu tata hatiku untuk bisa belajar di kampong Arab ini, karena kuingin mempelajari apa itu bahasa arab dengan lebih mendalam. Pare sebuah kampong yang banyak didatangi para perantau dari belahan penjuru dunia mulai dari dalam negeri hingga luar negeri semua bersatu padu demi meraih apa yang mereka citakan. Disini para manusia ulai dari anak-anak hingga orang dewasa saling belomba berbicara asing. Bahkan para penjual keliling skalipun menggunakan bahsa asing.

                Kupilih Ocean sebagai tempat tujuan akhirku belajar bahasa Arab namun aku tak mengenal siapa Ocean, bagaimana dia bekerja, dan apa yang ada didalamnya? Yang aku tahu hanyalah tempat berkumpulnya para mujahid ilmu. Pukul dua sing kusampai di depan Dauroh Ocean itulah sapaan akrab yang diberikan untuk surau kecil sebagai tempat bertemunya santri dan guru di Ocean. Lalu kumasuki tempat itu dan kenalkan diri sebagai seorang manusia yang haus akan ilmu. Hari pertama kumasuk dengan perasaan yang senang dang heran, karena tak pernah menyangka sebuah kegiatan belajar mengajar dimulai sepagi itu yakni pada pgi buta jam 05.30. jam dimana para manusia malas sedang menikmati mimpi indah dipagi hari, namun kali ini aku harus mengorbnkan diri untuk mengisi akal dengan ilmu-ilmu baru. Tetapi setelah beberapa hari berganti keadaan itu mulai terbiasa menghampiriku meski tak penuh satu minggu aku tinggal di kota Pare itu.
                Dimulai dari perkenalan, aku telah menemukan suatu kehidupan baru dengan nama baru “mumatsilah” atau artis dalam bahasa Indonesia. Dari situ ustad dan teman-teman mulai akrab dengan aku dan aku mulai mengenal satu dengan yang lainnya. Satu minggu berlalu dan ujianpun datang menghampiriku. Ujian pertama ini aku dewa keberuntungan sedang berpihak padaku . Karena aku bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan ustad untukku meski tak semuanya terselesaikan dengan baik dan lancar. Namun di minggu berikutnya si dewa keberuntungan tak lagi menghampiriku, entah tak tahu mengapa apakah dia sedang bad mood denganku atau ia sedang menikmati tidur paginya. Apalah itu namanya yang pasti aku hamper tak dapat menyelesaikan semua pertanyaan yang diberikan ustad padaku. Hingga mingu-mingu berikutnya keburuntungan tak lagi berpihak pdaku, aku malu pada para ustad, karena tingkahku yang tak sopan dank arena kebodohanku. Namun mereka tak pernah jemu dan bosan untuk menyalurkan ilmunya pada kita anak-anak Ocean. 
                Satu minggu terakhir menjelang Haflah Wada’, suatu perayaan yang digelar pada penghujung acara pembelajaran bulanan Ocean. Disini aku dipertemukan dengan teman-teman yang sangat aneh, entah keanehan apa yang mereka lukukan tapi bagiku itu sangat tak masuk akal. Mereka terkadang membuat hati ini kesal namun disisi lain mereka menghiburku disaat kurindu pada dunia malang dan tuban. Mereka yang punya karakteristik sendiri dan tak ada yang sama satu dengan lainnya. Membuat kelompok itu sangat mengagumkan. Mereka yang punya cerita tersendiri anatar individu namun bisa saling bersatu demi ebuah perlombaan masrohiyah. Meski dalam perjalanan latihan tak selalu berjalan mulus terkadang ada ketidak samaan dalam berfikir namun itulah kami. Hingga akhirnya mereka dapat mempersembahkan maha karya terbaiknya sebagai kenangan terakhir untuk ustad Thiyob tercinta selaku master of Ocean.
        Kemenangan telah mereka raih dan saatnya untuk bersuka ria, namun prediksiku meleset yang kita dapatkan tak hanya suka ria tapi terselipkan duka dalam kesukaan. Mungkin bukan unsure kesengajaan melainkan kecelakaan yang fatal dan masih meinggalkan luka. Entah sampai kapan luka itu akan terhapuskan oleh si korban mungkin butuh yang cukup untuk menghapusnya. Akupun tak pernah menyangka kelompok yang biasanya berhias tawa dan canda kini terhiasi dengan amarah dan dendam. Tak pasti alasan apa yang digunakannya, yang aku tahu hanya sebatas ketidak nyamanan semata. Namun bagaimanapun jua kita harus tetap menampilkan yang terbaik untuk Ocean tercinta, dan akhirnya kita semua dapat mempersembahkan apa yang muallim inginkan meski tak sesempurna karya pertama. Mungkin karena kepulangan salah satu personil atau alasan bekas luka yang telah menggoreskan hati diantara kita. Tapi pengalam ini tak akan berarti tanpa ada likunya jalanan yang terbumbui dengan asin pahitnya Pare, karena bukan bernama Pare jika tak meninggalkan pahit serta tak akan sedap tanpa ada rasa asin dalam sayuran.

Tidak ada komentar: