Ku awali di tanggal 9 januari. Kutapakkan kaki ini di bumi
Pare kabupaten Kediri. Kubulatkan tekad ini, kulepaskane liburan semester lima
ini. Lalu tata hatiku untuk bisa belajar di kampong Arab ini, karena kuingin
mempelajari apa itu bahasa arab dengan lebih mendalam. Pare sebuah kampong yang
banyak didatangi para perantau dari belahan penjuru dunia mulai dari dalam
negeri hingga luar negeri semua bersatu padu demi meraih apa yang mereka
citakan. Disini para manusia ulai dari anak-anak hingga orang dewasa saling
belomba berbicara asing. Bahkan para penjual keliling skalipun menggunakan
bahsa asing.
Kupilih
Ocean sebagai tempat tujuan akhirku belajar bahasa Arab namun aku tak mengenal
siapa Ocean, bagaimana dia bekerja, dan apa yang ada didalamnya? Yang aku tahu
hanyalah tempat berkumpulnya para mujahid ilmu. Pukul dua sing kusampai di
depan Dauroh Ocean itulah sapaan akrab yang diberikan untuk surau kecil sebagai
tempat bertemunya santri dan guru di Ocean. Lalu kumasuki tempat itu dan
kenalkan diri sebagai seorang manusia yang haus akan ilmu. Hari pertama kumasuk
dengan perasaan yang senang dang heran, karena tak pernah menyangka sebuah
kegiatan belajar mengajar dimulai sepagi itu yakni pada pgi buta jam 05.30. jam
dimana para manusia malas sedang menikmati mimpi indah dipagi hari, namun kali
ini aku harus mengorbnkan diri untuk mengisi akal dengan ilmu-ilmu baru. Tetapi
setelah beberapa hari berganti keadaan itu mulai terbiasa menghampiriku meski
tak penuh satu minggu aku tinggal di kota Pare itu.
Dimulai
dari perkenalan, aku telah menemukan suatu kehidupan baru dengan nama baru
“mumatsilah” atau artis dalam bahasa Indonesia. Dari situ ustad dan teman-teman
mulai akrab dengan aku dan aku mulai mengenal satu dengan yang lainnya. Satu
minggu berlalu dan ujianpun datang menghampiriku. Ujian pertama ini aku dewa
keberuntungan sedang berpihak padaku . Karena aku bisa menjawab pertanyaan yang
dilontarkan ustad untukku meski tak semuanya terselesaikan dengan baik dan
lancar. Namun di minggu berikutnya si dewa keberuntungan tak lagi
menghampiriku, entah tak tahu mengapa apakah dia sedang bad mood denganku atau
ia sedang menikmati tidur paginya. Apalah itu namanya yang pasti aku hamper tak
dapat menyelesaikan semua pertanyaan yang diberikan ustad padaku. Hingga
mingu-mingu berikutnya keburuntungan tak lagi berpihak pdaku, aku malu pada
para ustad, karena tingkahku yang tak sopan dank arena kebodohanku. Namun
mereka tak pernah jemu dan bosan untuk menyalurkan ilmunya pada kita anak-anak
Ocean.
Satu
minggu terakhir menjelang Haflah Wada’, suatu perayaan yang digelar pada
penghujung acara pembelajaran bulanan Ocean. Disini aku dipertemukan dengan
teman-teman yang sangat aneh, entah keanehan apa yang mereka lukukan tapi
bagiku itu sangat tak masuk akal. Mereka terkadang membuat hati ini kesal namun
disisi lain mereka menghiburku disaat kurindu pada dunia malang dan tuban. Mereka
yang punya karakteristik sendiri dan tak ada yang sama satu dengan lainnya.
Membuat kelompok itu sangat mengagumkan. Mereka yang punya cerita tersendiri
anatar individu namun bisa saling bersatu demi ebuah perlombaan masrohiyah.
Meski dalam perjalanan latihan tak selalu berjalan mulus terkadang ada ketidak
samaan dalam berfikir namun itulah kami. Hingga akhirnya mereka dapat
mempersembahkan maha karya terbaiknya sebagai kenangan terakhir untuk ustad
Thiyob tercinta selaku master of Ocean.
Kemenangan
telah mereka raih dan saatnya untuk bersuka ria, namun prediksiku meleset yang
kita dapatkan tak hanya suka ria tapi terselipkan duka dalam kesukaan. Mungkin
bukan unsure kesengajaan melainkan kecelakaan yang fatal dan masih meinggalkan
luka. Entah sampai kapan luka itu akan terhapuskan oleh si korban mungkin butuh
yang cukup untuk menghapusnya. Akupun tak pernah menyangka kelompok yang
biasanya berhias tawa dan canda kini terhiasi dengan amarah dan dendam. Tak
pasti alasan apa yang digunakannya, yang aku tahu hanya sebatas ketidak
nyamanan semata. Namun bagaimanapun jua kita harus tetap menampilkan yang
terbaik untuk Ocean tercinta, dan akhirnya kita semua dapat mempersembahkan apa
yang muallim inginkan meski tak sesempurna karya pertama. Mungkin karena
kepulangan salah satu personil atau alasan bekas luka yang telah menggoreskan
hati diantara kita. Tapi pengalam ini tak akan berarti tanpa ada likunya
jalanan yang terbumbui dengan asin pahitnya Pare, karena bukan bernama Pare
jika tak meninggalkan pahit serta tak akan sedap tanpa ada rasa asin dalam
sayuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar