Pernahkah
kau merasa akan kesendirian? Lalu dalam kesendirimu kau dapati oase yang dapat kau
jadikan teman untuk mencurahk seluruh kegundahan. Hingga suatu saat kau
kehilangannya untuk selamanya bahkan mungkin kau tak pernah temukan ia lagi.
Aku
Vera remaja berumur 20 tahun dengan kehidupan yang diiringi dengan rasa gundah,
galau, dan kesendirian. Bagiku hidup hanya ada satu waktu dan satu kali. Tapi entah
mengapa aku selalu dan selau dijumpai dengan rasa kesendirian. Mungkin karena aku
terlahir di panti asuhan tanpa kejelasan kedua orang tua. Yang aku tahu
hanyalah ibu Wati, ibu panti yang selalu setia menjadi teman curhatku. Lain dari
itu aku tak pernah punya teman yang selalu setia menemaniku. Bagiku teman
hanyalah bullshit. Semua sama hanya datang saat mereka membutuhkanku.
Hingga
suatu malam aku menerobos jalanan kota Jogjakarta. Kulalui semua penjuru kota Jogja dengan jalan kaki. Hingga
kutemukan kilometer 0 sebagai pusat kota Jogja. Disana kutemukan seorang pria
tampak berdiri lesu dengan tatapan mata kosong. Lalu kuhampiri ia. Harapan yang
kuinginkan hanyalah menemukan keramaian dalam keramaian. Bukan kesendirian
dalam keramaian.
Kubuka
percakapanku dengan secarik pertanyaan. Untuk apa kau mencari keramaian kalau
kau tak bisa mengusir kesepian hatimu sendiri? Dengan gegas ia segera
menolehkan wajahnya pada mukaku. Dan rasa canggung itu mulai merasuki seluruh
tubuhku. Tak biasa aku bertindak seperti ini. Bagiku teralu biasa aku bergaul
dan berkumpul bersama teman-teman cowok. Tapi entah mengapa hukum itu tidak
berlaku untuk kali ini. Dengan tegas dia menjawab Abner Claudius. Nama yang
sangat asing ditelinga ini. Hingga rasa penasaranku mulai tumbuh satu demi
satu.
Pertemuan
pertama yang sangat berkesan bagiku. Meski aku tak tahu banyak dari pertemuan
pertama itu, tapi dari situlah aku tahu mengapa kedua orang tuanya menyematkan
nama Abner Claudius karena mereka ingin Odi menjadi laki-laki yang akan menutupi
segala kekurangannya dengan kecerdasan yang di milikinya. Bagiku dia memang
terlalu cerdas untuk dijadikan seorang teman biasa. Entah mengapa aku mersa dia
dapat membaca seluruh isi fikiranku. Mulai dari guyonan ringan hingga
perdebatan panjang yang tak berujung. Aku rindu moment-moment seperti
itu. Tepi saat itu aku terlalu naïf, karena aku hanya mengandalkan
kecerdasannya untuk dapat menemukanku.
Hari
demi hari aku lalui dengan persaan merindu meski kesendirian tetap tak bias terlepas
disepanjang hariku. Kutulis surat kerinduan berlembar-lembar disetiap harinya
lalu kubungkus rapi dengan amplop berwarna merah muda sebagai tanda kasih
sayang. Tapi entah kemana surat itu harus kulayangkan. Tak satu alamat
kudapatkan untuk menyampaikan surat-surat rindu ini. Haruskah aku menunggu
ditempat pertama aku bertemu dengannya. Atau harus kuulang lagi waktu yang
telah berlalu. Sangat mustahil untuk mengulang waktu yang telah berlalu. Mungkin
aku harus kembali ke kilometer 0 untuk bisa melampiaskan semua kerinduan ini.
Hari
demi hari, waktu demi waktu terlalui. Setiap malam selalu kutunggu dia
dipersimpangan pusat kota Jogja. Tapi apa yang kudapati hanya kesepian dalam
keramaian pengunjung jalanan Jogja. Tak kudapati ia meski hanya punggungnya. Mungkinkah
ia manusia yang tercipta dari halusinasiku? Tapi tidak akalku menolak. Dia bukan
manusia halusinasi dia manusia sepertiku. Hanya saja untuk saat ini dia sedang
menemani manusia lain yang lebih membutuhkan sedikit candaan riang nan cerdas
darinya. Tenangku dalam hati. Hingga kupulang dengan harapan hampa.
Dihari
berikutnya aku tanggalkan impian-impian indah itu. Lalu kutata kembali hati ini
seperti saat aku tak mengenalnya. Tapi entah mengapa hati itu ingin kembali
mengingatnya. Kembali mengingat semerbak parfum yang terlalu wangi bagi seorang
pria. Hingga aku menganggap jika dia seorang pria yang selalu menjaga kerapian
dan kebersihan serta terpancar aura kecerdasan dari otaknya. Itu yang membuatku
tak bias melupakan seorang Odi dari fikiran kecil ini. Lalu kuputuskan untuk
kembali menemui pusat kota Jogja lagi dan lagi. Dan sekali lagi jawabannya
masih sama dengan malam-malam sebelumnya tak kutemui dia lagi. Hingga aku lelah
untuk tetap menunggu di pusat kota Jogja ini. Lalu kuputuskan untuk berhijrah
ke kota lain Surabaya. Dengan satu harapan kehidupan tanpa terkejar rasa rindu
dan kesepian dan kutinggalkan lembaran-lembaran surat tak beralamat itu dilaci
kamar pantiku.
***
Kini aku menyandang image
anak Surabaya dengan gaya bahasa Jawa Timur yang sedikit kasar dan urakan. Tapi
tak masalah bagiku untuk menyesuaikan kehidupan disini. Dengan suasana baru dan
keadaan baru serta pekerjaan baru aku bias lari dari kerinduan serta kesepian
yang selalu menemaniku di bumi istimewa itu. Aku mulai mempunyai teman baru
yang selalu peduli denganku yang selalu menemaniku disetiap langkah hidupku. Bastiaan
Geovanni sahabat terbaikku di kota pahlawan ini. Entah dia memang benar-benar
tulus ingin berteman denganku atau karena hal lain yang mengharuskan untuk
berteman denganku.
Hari-hariku selalu terpenuhi dengan
kecerian dan kebahagian bagiku hidup ini terasa indah jika kita bias mensyukuri
nikmat kehidupan yang tuhan berikan pada kita. Aku merasa menyesal mengapa aku
tak hijrah jauh sebelum hari kehijrahanku itu. Tapi sekali lagi ini hanyalah scenario
tuhan yang harus kita jalankan untuk sebuah proyek film kehidupan.
Tak terasa dua tahun sudah aku
menikmati kehidupan Surabaya dengan gedung-gedung tingginya dan dengan
kesibukanku menjadi seorang Trailer sebuah bank cabang Surabaya. Jauh disebrang
sana aku tak lagi menghubungi bahkan sekedar menanyakan kabar Ibu Wati yang
dulu selalu menjadi tempat diriku mencurahkan segala rasa kepenatan hati. Hingga
suatu hari aku merindukan kota kelahiranku. Tak banyak waktu untuk berfikir, sesegera
mungkin aku mengambil telpon genggamku lalu ku telpon Ibu asuhku nan jauh
disana. Kutanyai kabarnya lau kuceritakan keadaanku disini. Aku tenggelam dalam
kerinduan. Hingga saat ibu menyebutkan satu nama Odi.
Laki-laki yang membuatku sampai di
kota pahlawan ini. Ibu menceritakan secara detail apa yang sebenarnya terjadi
dengannya setelah ia bertemu dengan diriku. Lalu ibu memberikan semua
surat-surat kerinduanku yang telah kutulis dulu. Esok hari laki-laki itu
kembali ke panti asuhan itu dan berkata jika kerinduan itu kini telah sampai pada
tuannya, disaat sang pembuat rindu telah menghilang. Dan Odi pun meminta izin
kepada Ibu Wati untuk menjemput sang perindu di rantauan sana. Serta ia
berjanji pada diri sendiri untuk menemukan dan mengajaknya untuk bertemu
kembali di tempat tumbuhnya rindu itu dibuat. Tanpa terasa tetesan air mata
mulai membasahi pipiku dan saat itu pula aku mendengar ketokan pintu. Dengan gegap
aku membuka dan disana aku telah menemukan sesosok pria yang selama bertahun-tahun
aku ukir namanya dihatiku dengan tinta kerinduan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar