Jumat, 18 April 2014

Takdir Rinduku



…. Dengan sisa nafas ini
Ku nanti kau dalam dzikir
dan biarkan butir-butir tasbih ini
Menjadi saksi kerinduanku….
Prok.. Prok.. Prok..
Gemuruh  tepuk tangan penonton meramaikan gedung home teater Universitas Baitul Hikmah, salah satu kampus yang ada di kota Jombang. Fairuz Imani siswa perwakilan dari sekolah SMA Baitul Hikmah yang saat itu selesai membawakan puisi dengan judul Tasbih Rinduku. Paras yang tak tampan, namun baik untuk dilihat. Kali pertama itulah aku bertemu dengannya. Meski aku bukan sebagai salah satu peserta lomba baca puisi tingkat SMA se-Jawa Bali itu, namun aku cukup puas dengan sosok Iman dengan gaya  khasnya membawakan puisi itu. Aku yang saat itu hanya bisa duduk di tempat audien dan hanya bisa meratapi penyesalan diri. Mungkin aku bukanlah salah seorang siswi yang tergolong punya kelebihan jiwa percaya diri. Itulah alasannya mengapa aku hanya bisa duduk manis menikmati lantunan bait-bait puisi yang dibawakan para peserta.
*****

Tepat saat 27 Mei 2000 yang lalu aku menemani temanku Fira, sebagai wakil dari SMA Darul Falah Jombang. Ia membawakan puisi yang kutulis dengan judul Karenamu. Entah tak tahu kenapa aku ditunjuk guru bahasa Indonesia untuk menulis puisi sebagai ajang lomba tersebut. Mungkin karena puisi-puisiku banyak terpampang di majalah sekolah dan madding. Tapi sungguh aku tak pernah berhap sejauh ini. Karena bagiku tulisanku tak seindah para teman-teman lain yang jauh lebih indah dalam merangkai kata. Efira yang akhirnya terpilih membacakan puisiku. Ya karena dialah salah seorang temanku yang punya kelebihan rasa percaya diri dan punya talent untuk mengekspresikan bait-bait kata dalam rangkaian puisi.
“Selamat ya Fir, Ma’a an-Najah” Kataku sebagai uangkapan dukunganku pada Fira
“Makasih Sa, aku akan berikan yang terbaik buatmu deh”
“Hehe, Aku percaya sama kamu. Emang kapan sih kamu pernah ngecewain?”
“Ah, kamu Sa bisa aja. Kamu juga gak usah pake merendah deh”
“Hehehe”
Setelah Pak Arifin menunjuk Fira dan aku sebagai penangung jawab acara ini. Kami mulai berlatih setiap hari demi mendapatkan hasil yang memuaskan. Dengan bimbingan guru bahasa Indonesia kami yang telah terakui kemahirannya. Akhirnya Fira dan akupun mendapatkan feel dan diksi yang indah. Hari-hari sepulang sekolah yang biasanya kugunakan bermain dan berjalan bersama teman-teman kini harus rela kusampingkan kegiatan itu. Meski hati terasa berat untuk merelakan tapi bagaimanapun ini tanggung jawabku. Begitu juga Fira yang biasanya punya jadwal kursus piano harus rela bolos empat kali pertemuan demi berlatih puisi untuk perlombaan bulan depan.    
“Fira kamu kurang menjiwai bait yang kedua baris yang pertama, ayo ulangi lagi” koreksi Pak Arifin pada Fira
Berkali-kali pak Arifin membenahi cara Fira mendendangkan puisi tersebut, berkali-kali pula aku merasa bosan dengan semua itu. Hanya duduk, diam, dan lamunan kosong yang bisa kuperbuat. Kucari salah satu nomer sahabatku yang ada di kontak hpku. Lalu kucoba mengirim pesan singkat kepadanya, mencurahkan isi hatiku saat ini. Tapi apa taka da balasan yang kuharapkan. Mungkin mereka telah larut dalam kegiatannya. Sedangkan aku disini hanya bisa menekukkan muka ini. Sabar Khansa, semua pasti ada hikmah coba ambil pelajaran disetiap penantianmu. Batinku dalam hati.
Hari demi hari kulalui dengan penuh kesabaran. Bagiku satu bulan sebelum perlombaan itu merupakan bulan yang paling lama dalam sejarah hidupku. Semua terasa beku, tanpa ada hal baru yang membuatku lebih berwarna. Ya, karena di saat pagi datang. Aku haru berangkat menuju sekolah, lalu aku mulai menerima pelajaran-pelajaran hingga istirahat menjelang dan di siang hari pelajaran berakhir. Hingga akhirnya aku tersekap dengan Fira dan pak Arifin. Sebenarnya tanpa diriku mereka bisa melakukan latihan itu, tapi lagi-lagi karena Fira yang tak ingin berlatih sendiri dengan pak Arifin. Lalu akulah sasaran empuk sebagai teman duet yang andil dalam mengawasi mereka. Mungkin aku terlalu iri dengan gadis talent tersebut. Tapi apalah daya, aku juga tak punya keberanian untuk ungkapkan sajak indah itu.
*****
“Ingat pesan bapak ya Fir, focus, resapi makna setiap bait dan anggap kau merasakan hal itu” tak jemu-jemunya sang guru mengingatkan Fira untuk menjadi yang terbaik dengan pesan singkat itu. Sungguh besar jasa beliau, pasti tak akan kulupakan semua pesan-pesan dan usahamu wahai guruku.
Saat ini tepat dimana hari perlombaan akan segera dimulai. Aku dan Firapun harus rela izin tidak mengikuti pelajaran hari ini demi parade puisi ini. Dengan ditemani pak Arifin sebagai guru pembimbing, kamipun mulai menaiki mobil Avanza milik SMA Darul Falah yang melaju ke kampus Universitas Baitul Hikmah.
Sesampai kami di gedung home teater Universitas Baitul Hikmah. Kami segera mencari tempat duduk senyaman mungkin. Bangku tingkat ketitiga kami kira nyaman untuk menikmati lantunan demi lantunan puisi para peserta lomba. Detik berganti detik dan menitpun mulai berputar. Tiga puluh menit berlalu, kursi yang awalnya kosong kini mulai terpenuhi dengan manusia. Hingga suara cek sound pun mulai terdengar yang berarti acara segera dimulai.
“Sa, aku kok semakin deg-degan ya”
“Gak papa Fir, santai serahkan semua pada yang diatas. Insya allah pasti lancar”
“Gak bisa Sa, beneran aku deg-degan banget gak kayak biasanya deh”
“Coba kamu tarik nafas dulu biar sedikit tenang”
“Hhhh, hmmm.  Sa, seandainya aku gagal gimana?”
“Kamu serahkan pada Ilahi saja Fir, yang penting kamu kan udah berusaha. Ya kan”
Entah mengapa ada rasa ragu dalam diri Fira. Sejauh ini ia tak pernah kujumpai meragu pada dirinya. Mungkin hanyalah secuil firasat yang lewat dihati gadis pede itu. Tapi sesegera mungkin aku meredam kegelisahan hatinya.
Para MC parade puisipun memulainya. Dimulai dengan bacaan basmalah sebagai tanda dibukanya acara tersebut yang dilanjutkan dengan penampilan dendangan penyanyi lengkap dengan personil band kampus tersebut. Acara parade puisi mulai menunjukkan kemeriahan dan antusias para peserta mulai berapi. Setelah mereka selesai bernyanyi, peserta undian pertamapun mulai maju dengan sigap dan gaya berpuisi bak penyair termasyhur.
Peserta demi peserta terus bergantian hingga tiba nomer undian tiga belas yang dikantongi oleh Efira Adawiyah. Derap langkah Fira menuju pentas megah segera kulihat. Jiwa percaya diri dan suara lantang serta mimik apik yang terhiasi dengan resapan puisi yang berjudul Karenamu mulai terihat nyata dihadapan para audien gedung home teater tersebut. Aku sebagai penulis merasa sedikit bangga dengan karyaku meski aku tak bisa menyampaikan langsung sajak itu. Hingga linangan air mata ini menjatuhi pipiku. Entah apa yang kurasa, bagiku semua larik sajak itu terasa nyata. Alunan tepuk tangan para audien menyadarkanku yang menyatakan bahwa gadis wakil SMA Darul Falah telah usai berpuisi.
“Hebat kamu Fir, kau bisa menyihir para audien dank au bisa membuatku meneteskan air mata”
“Ah, kamu selalu berlebihan Sa”
Lalu kami saling pandang dan melepaskan sesungging senyuman manis di bibir kami. Begitu juga pak Arifin yanng sangat bangga dengan Fira yang telah bekerja keras mengeluarkan semua kemapuannya. Hingga tak ada satu koreksi pun yang diberikan oleh guru kami ini. Bagi beliau ini tak lebih dari cukup setelah satu bulan memotong waktu istirahat kami.
Nomer undian dua puluh lima sekaligus sebagai nomer penutup parade puisi ini berupa puisi dengan judul Tasbih Riduku perwakilan SMA Baitul Hikmah. Tanpa kusadari hati ini merasa tenang, sejuk dan tak ubahnya bentuk senyum diwajahku saat pertama ia melantunkan puisi tersebut. Entah karena keindahan isi atau diksi puisi itu, atau karena seseorang yang begitu piawai ia membawakan kumpulan sajak-sajak indah itu. Yang aku tahu hanya rasa kedamaian dan suka yang tertinggal untuknya. Nama Fairuz Imani sebagai kata kunci yang aku tahu sebelum meninggalkan tempat tersebut. Karena ialah yang menjadi Juara Pertama di parade kali ini, sedangkan Fira menjadi runner up setelah posisi Iman.
*****
            Dua tahun berlalu, aku telah melewati masa-masa indah kelas XI dengan kenangan indah serta pahit dengan para teman satu angkatan. Lain dari itu aku juga telah melewati masa-masa serius belajar di kelas XII demi meraih predikat lulus dalam Ujian Nasional sebagai tolok ukur sekolah se-Indonesia.  Hingga khirnya perjuangan itu membuahkan hasil yang setimpal. Meski aku bukan siswi terbaik se-kota Jombang tapi aku layak menduduki the best three di SMA Darul Falah ini.
            Kini kulanjutkan perjalanan penuntutan ilmuku di kota Gudeg Jogjakarta. Karena bagiku disana banyak terlahir para penyair Indonesia dan para budayawan yang telah terakui kemahirannya. Kupilih jurusan Sastra Asia di Universitas Gadjah Mada. Salah satu kampus yang paling ternama di kota Jogja itu. Dengan bekal nilai yang cukup, akhirnya aku berani mendaftarkan diri di kampus tersebut. Meski dikata orang susah untuk sampai di universitas tua itu. Tapi aku yakin akku pasti bisa meraih impianku.
            Dorongan dan do’a dari kedua orang tuaku yang tak kenal lelah membuatku ingin terus memperjuangkan semua ini. Lalu bimbingan belajar untuk lolos ujian tes masuk perguruan tinggi selalu aku ikuti rutin. Aku mulai mendaftar online dan mengikuti ujian disalah satu kampus yang ada di Surabaya hingga akhirnya aku mendapatkan kata LULUS di kampus UGM di jurusan Sastra Asia saat hasil pengumuman.
*****
Dikota gudeg ini aku mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, tempat baru, suasana baru, serta teman baru. Kumulai dengan mengikuti langkah-langkah yanng kakak tingkat lakukan orientasi siswa baru sebagai ajang perkenalan antara mahasiswa lama dengan mahasiswa baru tentang kampus. Lalu orientasi yang dilakukan perfakultas hingga orientasi perjurusan. Semua berjalan wajar tanpa satu halangan dan rintangan meski sesekali hukuman menimpa diriku, tapi aku masih bisa menyelesaikannya.
Hingga saat orientasi jurusan tanpa kusadari aku satu kelompok dengan lelaki bernama Fairuz Imani. Sosok pemuda yang tak terlalu tinggi namun juga tak pendek, dengan rupa yang tak terlalu tampan tapi sedap untuk dipandang. Tersentak saat itu juga hatiku berdegub bercampur dengan kedamaian yang berbunga. Disaat itu pula Iman ditunjuk sebagai Ketua dan aku sebagai bendahara. Entah karena alasan apa yang membuat kakak pendamping memilihku menjadi bendahara, apakah aku gadis dengan mata huruf s dan dua garis horizontal ditengahnya. Entahlah. Yang aku rasa hanya kebahagian. Setelah dua tahun silam aku menyimpan rasa itu, kini aku tahu dihapannya.
“Okey, sekarang kelompok kalian sudah ada ketua, sekretaris, dan bendahara. Selanjutnya terserah ketua mau dibawa kemana karena saya percaya pada kalian” perintah kakak pendamping untuk segera mengganti tugasnya kepada ketua kelompok.
“Perkenalkan saya Fairuz Imani, asal Jombang. Setelah ini kalian perkenalkan diri kalian masing-masing supaya cepat akrab ya” Pinta sang ketua pada kami.
“Saya Khalida Jamilah, asal Pekalongan”
“Saya Alex Andrio, asal Jakarta”
“Saya Khansa Saniyah, asal Jombang”
Itulah awal perkenalan kelompok orientasi jurusan dengan ketua Iman. Setelah acara orientasi indoor selesai kami mendapati waktu istirahat yang lumayan untuk istirahat, sholat, dan makan. Hingga seruan Iman mendarat ketelingaku “Khansa.. tunggu” sesegera aku menoleh kebelakang.
“Aku Iman. Kalo gak salah tadi kamu juga dari Jombang ya?”
“Iya, betul. Kamu?”
“Sama, aku Jombang Peterongan. Kamu mana?”
“Mojoagung”
“Emm. Yaudah kita ishoma dulu takut telat nanti”
Lalu kamipun saling berpisah menuju masjid kampus dan kemudian mencari tempat makan sendiri-sendiri. Disaat itu pula aku mulai berharap jika ia akan menjadi teman serta sahabatku selama aku berda di tempat orang ini.
****
            Selepas perkenalan singkat itu. Aku ternyata berada dikelas yang sama dengan Iman. Entah kenapa mungkin dewi keberuntungan ada dipihakku atau inilah takdir tuhan yang telah tertuliskan. Hari-hariku berjalan dengan riang dan bahagia. Tapi tak tahu apakah ia juga merasakan seperti apa yang aku rasakan saat ini. Lelaki good looking itu ternyata tak hanya pandai dalam membaca puisi, namun juga pandai merangkai bait demi bait kata. Itu yang aku tahu dari penuturannya setelah kami saling membagi cerita. Asal daerah yang sama membuat aku dan dia mulai cepat akrab. Dan saat itu pula dia juga bercerita tentang parade puisi dua tahun yang lalu.   
            Pribadi yang sopan dan penuh kasih saying selalu menghiasi hari-hari Iman. Dengan sebongkah prestasi yang dia capai semasa SMA membuatnya tak malu untuk mengikuti beberapa organisasi dan ekstra kampus. Begitu juga aku, yang mencoba memberanikan diri untuk mengikuti beberapa organisasi dan ekstra kampus. Bukan dengan alasan dia, tapi dengan beginilah aku bisa melatih rasa percaya diriku yang selama ini ada di pusaran bumi.
            Kehidupan berjalan melewati jatuh bangun rintangan yang menghadang. Begitupun dengan masa-masa perkuliahanku. Terkadang aku mulai jenuh dengan tugas yang begitu bermacam dengan deadline yang tentu. Hmmm, semua terasa penat yang selalu menghiasi hidupku. Sesekali aku ingin kembali kekampung halaman. Tapi aku sadar inilah jalan telah aku pilih. Tak boleh aku berhenti ditengah jalan. Aku harus tetap berusaha dan berusaha demi meraih impianku dulu.
            Ajakan bermain dan sekedar memakan angin yang membuatku tetap kuat sekaligus menjadi motivator tersendiri bagi hidupku. Dia seakan-akan mengerti rasa sesak hati dengan kehidupan ini. Lalu ajakn untuk pergi bersama selalu aku sambut dengan lapang hati. Tapi bukan berarti kami sering pergi dan jalan berdua yang membuat kami memutuskan untuk membuat ikatan. Kami tak lebih dan tak kurang masih berstatus sebagai teman selalu. Entah kenapa friendship membuatku lebih nyaman dari seorang lady love.
****
            Tiga setengah tahun berlalu. Yang berarti aku telah menduduki penghujung semester tujuh. Satu semester lagi aku akan menyandang sarjana sastra alumni Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Kegiatan perkuliahan, organisasi, dan ekstra kampupun menjadi santapan harianku. Hingga kini aku menjadi gadis yang percaya diri dengan prestasi yang tak begitu buruk dengan para teman-teman lainnya. Meski dengan Iman aku masih terlalu sulit untuk mengerjarnya. Nilai indeks prestasi yang kuperoleh tak pernah melewati angka tiga koma lima. Itu pula yang menjadikanku akan dengan mudah lulus dari jenjang S1.
            Rentetan proses menuju kelulusanpun aku ikuti dengan tertib. Mulai dari pengajuan judul, pertanggungjawaban hasil proposal hingga ujian kompre telah aku lalui dengan lancer. Meski sesekali aku harus mendapati revisi. Begitu juga Iman sahabat sejurusan dan sekampung halaman selama aku dibangku perkuliahan. Meski banyak sahabat-sahabatku yang lain tapi bagiku dia adalah sahabat special. Mungkin karena rasa dalam parade puisi dulu. Atau karena kebaikan dan sikap pedulinya, aku membuat ruang sendiri untuknya. Dia juga disibukkan dengan tugas-tugas akhir perkuliahan. Sesekali kami mondar-mandir berbarengan dan jalan bersama untuk melepas penat.
*****
Hari yang paling ditunggu sekaligus menegangkanpun tiba. Sidang skripsi. Akupun mulai merasakan ketegangan dalam hati. Tapi aku yakin aku bisa setelah beberapa jalan usaha kulalui. Tiba saat giliranku. Dengan hati tenang, pikiran focus dan doa dari kedua orang tuaku aku mulai mempresentasikan hasil penelitianku dihadapan empat penguji. Ucapan semangat dari Iman sebelum memasuki ruang ujian juga menjadi kekuatan bagiku melalui masa genting ini. Dua puluh menit berlalu. Akupun dengan lega dapat menghirup oksigen tanpa harus terhantui dengan tugas, deadline dan iming-iming siding.
            Sehari setelah sidang, seperti biasa Iman mengajakku keluar hanya untuk menyusuri sepanjang jalan Malioboro. Tapi kali ini ia memilih waktu di sore hari hingga malam menyapa nanti. Dengan alasan merayakan kebebasan dari segala peraturan yang terikat selama empat tahun lalu. Begitu juga aku yang tak pernah bisa menolak ajakannya. Aku hanya menuruti dan meng-iyakan ajakan itu.
            Malampun menghampiri dalam perjalanan pelepas penatku dan dia. Sesekali kami mampir kemasjid sekitar untuk menunaikan ibadah shalat magrib. Lalu kami lanjutkan perjalanan kami menyusuri setiap jalanan jogja dengan hiasan lampu-lampu kuning yang betengger disepanjang jalan. Setelah rasa pegal singgah dikaki kami. Akhirnya dia memutuskan untuk membeli jasa becak yang ada pangkalan.
            “Seru ya jalan-jalan malam gini”
            “Hehe, iya soalnya tanpa beban” Jawabku ringan dengan rasa canggung.
            “Hehe. Habis ini kamu lanjut kemana?”
            “Masih pengennya cari kerja dulu Man. Kamu?”
            “Emmm. Kalo aku pengen keluar negeri Sa, pengen cari pengalaman diluar biar gak dikandang sendiri terus”
            Hening mulai menyapa kami berdua. Sedangkan aku mulai merasa sedikit kehilangan dengan jawabannya. Entah mengapa rasa itu timbul dilubuk hatiku.
            “Sa. Boleh aku jujur”
            “Jujur? Tentang apa Man?”
            “Tentang hati ini. Sejak pertama aku mengenalmu dan berbagi cerita denganmu. Saat itu pula mulai tumbuh benih rasa itu untukmu”
            Letupan bom seakan-akan ada didalam hatiku. Aku bergumam tak percaya pada diri sendiri. Apakah yang dikatakan Iman benar-benar sungguh dari dalam hati. Tapi setahuku dia memang tak pernah sesekali berpacaran dengan perempuan manapun. Dan tanpa sepatah jawaban yang terlontar dari mulutku. Seakan membeku dalam kegembiraan.
            Sorry Sa. Kalo ungkapanku tadi menyinggung perasaanmu. Tapi setidaknya aku lega karena kau telah mengetahui isi hati ini yang telah lama terkubur”
            “Nggak Man. Kamu gak salah kok. Semua orang pantas berkata seperti itu”
            “Terima kasih Sa. Pribadi lembut dan santunmu yang membuatku ingin menjadikanmu teman hidupku”
            Jawaban Iman yang yang begitu mengejutkan lagi membuatku harus membungkam mulutku. Karena tak satu kata mampu kukata untuk menjawabnya.
            “Mas, Mbak sudah sampe”  Ucap tukang becak pada kami berdua
            “Oh iya pak. Saking asyiknya kita sampe lupa. Terima kasih pak”
            Akhirnya kami mulai berjalan lagi menuju kembali pulang dengan hati yang tak menentu. Tanpa jawaban dariku dengan kepastian yang kuberikan padanya.
            “Kau masih ingat bait-bait puisiku lima tahun silam yang lalu Sa. Tasbih Rinduku. Maukah kau menugguku hingga tiba waktunya nanti”
            “Aku tak tahu Man. Bagaimana tuhan menulis takdir kita nanti. Aku hanya bisa berdo’a semoga yang kau inginkan sama seperti yang tuhan gariskan pada hidup ku dan kau”
            “Amin”
            Hanya lantunan doa dan rasa pasrah diri yang bisa kukatakan pada Iman. Entah nanti semua impian itu kan nyata atau hanya hiasan indah dalam hidup ini. Ku biarkan takdir menjawab semua impian ini.      
*****

Tidak ada komentar: