…. Dengan
sisa nafas ini
Ku nanti kau dalam dzikir
dan biarkan butir-butir tasbih ini
Menjadi saksi kerinduanku….
Ku nanti kau dalam dzikir
dan biarkan butir-butir tasbih ini
Menjadi saksi kerinduanku….
Prok.. Prok.. Prok..
Gemuruh tepuk tangan
penonton meramaikan gedung home teater Universitas Baitul Hikmah, salah
satu kampus yang ada di kota Jombang. Fairuz Imani siswa perwakilan dari
sekolah SMA Baitul Hikmah yang saat itu selesai membawakan puisi dengan judul
Tasbih Rinduku. Paras yang tak tampan, namun baik untuk dilihat. Kali pertama
itulah aku bertemu dengannya. Meski aku bukan sebagai salah satu peserta lomba
baca puisi tingkat SMA se-Jawa Bali itu, namun aku cukup puas dengan sosok Iman
dengan gaya khasnya membawakan puisi
itu. Aku yang saat itu hanya bisa duduk di tempat audien dan hanya bisa
meratapi penyesalan diri. Mungkin aku bukanlah salah seorang siswi yang
tergolong punya kelebihan jiwa percaya diri. Itulah alasannya mengapa aku hanya
bisa duduk manis menikmati lantunan bait-bait puisi yang dibawakan para
peserta.
*****
Tepat saat 27 Mei 2000 yang lalu aku menemani temanku Fira, sebagai
wakil dari SMA Darul Falah Jombang. Ia membawakan puisi yang kutulis dengan
judul Karenamu. Entah tak tahu kenapa aku ditunjuk guru bahasa Indonesia untuk
menulis puisi sebagai ajang lomba tersebut. Mungkin karena puisi-puisiku banyak
terpampang di majalah sekolah dan madding. Tapi sungguh aku tak pernah berhap
sejauh ini. Karena bagiku tulisanku tak seindah para teman-teman lain yang jauh
lebih indah dalam merangkai kata. Efira yang akhirnya terpilih membacakan
puisiku. Ya karena dialah salah seorang temanku yang punya kelebihan rasa
percaya diri dan punya talent untuk mengekspresikan bait-bait kata dalam
rangkaian puisi.
“Selamat ya Fir, Ma’a an-Najah” Kataku sebagai uangkapan
dukunganku pada Fira
“Makasih Sa, aku akan berikan yang terbaik buatmu deh”
“Hehe, Aku percaya sama kamu. Emang kapan sih kamu pernah
ngecewain?”
“Ah, kamu Sa bisa aja. Kamu juga gak usah pake merendah deh”
“Hehehe”
Setelah Pak Arifin menunjuk Fira dan aku sebagai penangung jawab
acara ini. Kami mulai berlatih setiap hari demi mendapatkan hasil yang
memuaskan. Dengan bimbingan guru bahasa Indonesia kami yang telah terakui
kemahirannya. Akhirnya Fira dan akupun mendapatkan feel dan diksi yang
indah. Hari-hari sepulang sekolah yang biasanya kugunakan bermain dan berjalan
bersama teman-teman kini harus rela kusampingkan kegiatan itu. Meski hati
terasa berat untuk merelakan tapi bagaimanapun ini tanggung jawabku. Begitu
juga Fira yang biasanya punya jadwal kursus piano harus rela bolos empat kali
pertemuan demi berlatih puisi untuk perlombaan bulan depan.
“Fira kamu kurang menjiwai bait yang kedua baris yang pertama, ayo
ulangi lagi” koreksi Pak Arifin pada Fira
Berkali-kali pak Arifin membenahi cara Fira mendendangkan puisi
tersebut, berkali-kali pula aku merasa bosan dengan semua itu. Hanya duduk,
diam, dan lamunan kosong yang bisa kuperbuat. Kucari salah satu nomer sahabatku
yang ada di kontak hpku. Lalu kucoba mengirim pesan singkat kepadanya,
mencurahkan isi hatiku saat ini. Tapi apa taka da balasan yang kuharapkan.
Mungkin mereka telah larut dalam kegiatannya. Sedangkan aku disini hanya bisa
menekukkan muka ini. Sabar Khansa, semua pasti ada hikmah coba ambil pelajaran
disetiap penantianmu. Batinku dalam hati.
Hari demi hari kulalui dengan penuh kesabaran. Bagiku satu bulan
sebelum perlombaan itu merupakan bulan yang paling lama dalam sejarah hidupku.
Semua terasa beku, tanpa ada hal baru yang membuatku lebih berwarna. Ya, karena
di saat pagi datang. Aku haru berangkat menuju sekolah, lalu aku mulai menerima
pelajaran-pelajaran hingga istirahat menjelang dan di siang hari pelajaran
berakhir. Hingga akhirnya aku tersekap dengan Fira dan pak Arifin. Sebenarnya
tanpa diriku mereka bisa melakukan latihan itu, tapi lagi-lagi karena Fira yang
tak ingin berlatih sendiri dengan pak Arifin. Lalu akulah sasaran empuk sebagai
teman duet yang andil dalam mengawasi mereka. Mungkin aku terlalu iri dengan
gadis talent tersebut. Tapi apalah daya, aku juga tak punya keberanian
untuk ungkapkan sajak indah itu.
*****
“Ingat pesan bapak ya Fir, focus, resapi makna setiap bait dan
anggap kau merasakan hal itu” tak jemu-jemunya sang guru mengingatkan Fira
untuk menjadi yang terbaik dengan pesan singkat itu. Sungguh besar jasa beliau,
pasti tak akan kulupakan semua pesan-pesan dan usahamu wahai guruku.
Saat ini tepat dimana hari perlombaan akan segera dimulai. Aku dan
Firapun harus rela izin tidak mengikuti pelajaran hari ini demi parade puisi
ini. Dengan ditemani pak Arifin sebagai guru pembimbing, kamipun mulai menaiki
mobil Avanza milik SMA Darul Falah yang melaju ke kampus Universitas Baitul
Hikmah.
Sesampai kami di gedung home teater Universitas Baitul
Hikmah. Kami segera mencari tempat duduk senyaman mungkin. Bangku tingkat ketitiga
kami kira nyaman untuk menikmati lantunan demi lantunan puisi para peserta
lomba. Detik berganti detik dan menitpun mulai berputar. Tiga puluh menit
berlalu, kursi yang awalnya kosong kini mulai terpenuhi dengan manusia. Hingga
suara cek sound pun mulai terdengar yang berarti acara segera dimulai.
“Sa, aku kok semakin deg-degan ya”
“Gak papa Fir, santai serahkan semua pada yang diatas. Insya allah
pasti lancar”
“Gak bisa Sa, beneran aku deg-degan banget gak kayak biasanya deh”
“Coba kamu tarik nafas dulu biar sedikit tenang”
“Hhhh, hmmm. Sa, seandainya
aku gagal gimana?”
“Kamu serahkan pada Ilahi saja Fir, yang penting kamu kan udah
berusaha. Ya kan”
Entah mengapa ada rasa ragu dalam diri Fira. Sejauh ini ia tak
pernah kujumpai meragu pada dirinya. Mungkin hanyalah secuil firasat yang lewat
dihati gadis pede itu. Tapi sesegera mungkin aku meredam kegelisahan
hatinya.
Para MC parade puisipun memulainya. Dimulai dengan bacaan basmalah
sebagai tanda dibukanya acara tersebut yang dilanjutkan dengan penampilan
dendangan penyanyi lengkap dengan personil band kampus tersebut. Acara parade
puisi mulai menunjukkan kemeriahan dan antusias para peserta mulai berapi.
Setelah mereka selesai bernyanyi, peserta undian pertamapun mulai maju dengan
sigap dan gaya berpuisi bak penyair termasyhur.
Peserta demi peserta terus bergantian hingga tiba nomer undian tiga
belas yang dikantongi oleh Efira Adawiyah. Derap langkah Fira menuju pentas
megah segera kulihat. Jiwa percaya diri dan suara lantang serta mimik apik yang
terhiasi dengan resapan puisi yang berjudul Karenamu mulai terihat nyata
dihadapan para audien gedung home teater tersebut. Aku sebagai penulis merasa
sedikit bangga dengan karyaku meski aku tak bisa menyampaikan langsung sajak
itu. Hingga linangan air mata ini menjatuhi pipiku. Entah apa yang kurasa,
bagiku semua larik sajak itu terasa nyata. Alunan tepuk tangan para audien
menyadarkanku yang menyatakan bahwa gadis wakil SMA Darul Falah telah usai
berpuisi.
“Hebat kamu Fir, kau bisa menyihir para audien dank au bisa
membuatku meneteskan air mata”
“Ah, kamu selalu berlebihan Sa”
Lalu kami saling pandang dan melepaskan sesungging senyuman manis
di bibir kami. Begitu juga pak Arifin yanng sangat bangga dengan Fira yang telah
bekerja keras mengeluarkan semua kemapuannya. Hingga tak ada satu koreksi pun
yang diberikan oleh guru kami ini. Bagi beliau ini tak lebih dari cukup setelah
satu bulan memotong waktu istirahat kami.
Nomer undian dua puluh lima sekaligus sebagai nomer penutup parade
puisi ini berupa puisi dengan judul Tasbih Riduku perwakilan SMA Baitul Hikmah.
Tanpa kusadari hati ini merasa tenang, sejuk dan tak ubahnya bentuk senyum
diwajahku saat pertama ia melantunkan puisi tersebut. Entah karena keindahan
isi atau diksi puisi itu, atau karena seseorang yang begitu piawai ia
membawakan kumpulan sajak-sajak indah itu. Yang aku tahu hanya rasa kedamaian
dan suka yang tertinggal untuknya. Nama Fairuz Imani sebagai kata kunci yang
aku tahu sebelum meninggalkan tempat tersebut. Karena ialah yang menjadi Juara
Pertama di parade kali ini, sedangkan Fira menjadi runner up setelah
posisi Iman.
*****
Dua tahun berlalu,
aku telah melewati masa-masa indah kelas XI dengan kenangan indah serta pahit
dengan para teman satu angkatan. Lain dari itu aku juga telah melewati
masa-masa serius belajar di kelas XII demi meraih predikat lulus dalam Ujian
Nasional sebagai tolok ukur sekolah se-Indonesia. Hingga khirnya perjuangan itu membuahkan
hasil yang setimpal. Meski aku bukan siswi terbaik se-kota Jombang tapi aku
layak menduduki the best three di SMA Darul Falah ini.
Kini kulanjutkan
perjalanan penuntutan ilmuku di kota Gudeg Jogjakarta. Karena bagiku disana
banyak terlahir para penyair Indonesia dan para budayawan yang telah terakui
kemahirannya. Kupilih jurusan Sastra Asia di Universitas Gadjah Mada. Salah
satu kampus yang paling ternama di kota Jogja itu. Dengan bekal nilai yang
cukup, akhirnya aku berani mendaftarkan diri di kampus tersebut. Meski dikata
orang susah untuk sampai di universitas tua itu. Tapi aku yakin akku pasti bisa
meraih impianku.
Dorongan dan do’a
dari kedua orang tuaku yang tak kenal lelah membuatku ingin terus
memperjuangkan semua ini. Lalu bimbingan belajar untuk lolos ujian tes masuk
perguruan tinggi selalu aku ikuti rutin. Aku mulai mendaftar online dan
mengikuti ujian disalah satu kampus yang ada di Surabaya hingga akhirnya aku
mendapatkan kata LULUS di kampus UGM di jurusan Sastra Asia saat hasil
pengumuman.
*****
Dikota gudeg ini aku mulai beradaptasi dengan lingkungan baru,
tempat baru, suasana baru, serta teman baru. Kumulai dengan mengikuti
langkah-langkah yanng kakak tingkat lakukan orientasi siswa baru sebagai ajang
perkenalan antara mahasiswa lama dengan mahasiswa baru tentang kampus. Lalu orientasi
yang dilakukan perfakultas hingga orientasi perjurusan. Semua berjalan wajar
tanpa satu halangan dan rintangan meski sesekali hukuman menimpa diriku, tapi
aku masih bisa menyelesaikannya.
Hingga saat orientasi jurusan tanpa kusadari aku satu kelompok
dengan lelaki bernama Fairuz Imani. Sosok pemuda yang tak terlalu tinggi namun
juga tak pendek, dengan rupa yang tak terlalu tampan tapi sedap untuk
dipandang. Tersentak saat itu juga hatiku berdegub bercampur dengan kedamaian
yang berbunga. Disaat itu pula Iman ditunjuk sebagai Ketua dan aku sebagai
bendahara. Entah karena alasan apa yang membuat kakak pendamping memilihku
menjadi bendahara, apakah aku gadis dengan mata huruf s dan dua garis
horizontal ditengahnya. Entahlah. Yang aku rasa hanya kebahagian. Setelah dua
tahun silam aku menyimpan rasa itu, kini aku tahu dihapannya.
“Okey, sekarang kelompok kalian sudah ada ketua, sekretaris, dan
bendahara. Selanjutnya terserah ketua mau dibawa kemana karena saya percaya
pada kalian” perintah kakak pendamping untuk segera mengganti tugasnya kepada
ketua kelompok.
“Perkenalkan saya Fairuz Imani, asal Jombang. Setelah ini kalian
perkenalkan diri kalian masing-masing supaya cepat akrab ya” Pinta sang ketua
pada kami.
“Saya Khalida Jamilah, asal Pekalongan”
“Saya Alex Andrio, asal Jakarta”
“Saya Khansa Saniyah, asal Jombang”
Itulah awal perkenalan kelompok orientasi jurusan dengan ketua Iman.
Setelah acara orientasi indoor selesai kami mendapati waktu istirahat
yang lumayan untuk istirahat, sholat, dan makan. Hingga seruan Iman mendarat
ketelingaku “Khansa.. tunggu” sesegera aku menoleh kebelakang.
“Aku Iman. Kalo gak salah tadi kamu juga dari Jombang ya?”
“Iya, betul. Kamu?”
“Sama, aku Jombang Peterongan. Kamu mana?”
“Mojoagung”
“Emm. Yaudah kita ishoma dulu takut telat nanti”
Lalu kamipun saling berpisah menuju masjid kampus dan kemudian
mencari tempat makan sendiri-sendiri. Disaat itu pula aku mulai berharap jika
ia akan menjadi teman serta sahabatku selama aku berda di tempat orang ini.
****
Selepas perkenalan
singkat itu. Aku ternyata berada dikelas yang sama dengan Iman. Entah kenapa
mungkin dewi keberuntungan ada dipihakku atau inilah takdir tuhan yang telah
tertuliskan. Hari-hariku berjalan dengan riang dan bahagia. Tapi tak tahu
apakah ia juga merasakan seperti apa yang aku rasakan saat ini. Lelaki good
looking itu ternyata tak hanya pandai dalam membaca puisi, namun juga
pandai merangkai bait demi bait kata. Itu yang aku tahu dari penuturannya
setelah kami saling membagi cerita. Asal daerah yang sama membuat aku dan dia
mulai cepat akrab. Dan saat itu pula dia juga bercerita tentang parade puisi
dua tahun yang lalu.
Pribadi yang sopan
dan penuh kasih saying selalu menghiasi hari-hari Iman. Dengan sebongkah
prestasi yang dia capai semasa SMA membuatnya tak malu untuk mengikuti beberapa
organisasi dan ekstra kampus. Begitu juga aku, yang mencoba memberanikan diri
untuk mengikuti beberapa organisasi dan ekstra kampus. Bukan dengan alasan dia,
tapi dengan beginilah aku bisa melatih rasa percaya diriku yang selama ini ada
di pusaran bumi.
Kehidupan berjalan
melewati jatuh bangun rintangan yang menghadang. Begitupun dengan masa-masa
perkuliahanku. Terkadang aku mulai jenuh dengan tugas yang begitu bermacam
dengan deadline yang tentu. Hmmm, semua terasa penat yang selalu
menghiasi hidupku. Sesekali aku ingin kembali kekampung halaman. Tapi aku sadar
inilah jalan telah aku pilih. Tak boleh aku berhenti ditengah jalan. Aku harus
tetap berusaha dan berusaha demi meraih impianku dulu.
Ajakan bermain dan
sekedar memakan angin yang membuatku tetap kuat sekaligus menjadi motivator
tersendiri bagi hidupku. Dia seakan-akan mengerti rasa sesak hati dengan
kehidupan ini. Lalu ajakn untuk pergi bersama selalu aku sambut dengan lapang
hati. Tapi bukan berarti kami sering pergi dan jalan berdua yang membuat kami
memutuskan untuk membuat ikatan. Kami tak lebih dan tak kurang masih berstatus
sebagai teman selalu. Entah kenapa friendship membuatku lebih nyaman
dari seorang lady love.
****
Tiga setengah
tahun berlalu. Yang berarti aku telah menduduki penghujung semester tujuh. Satu
semester lagi aku akan menyandang sarjana sastra alumni Universitas Gadjah Mada
Jogjakarta. Kegiatan perkuliahan, organisasi, dan ekstra kampupun menjadi
santapan harianku. Hingga kini aku menjadi gadis yang percaya diri dengan
prestasi yang tak begitu buruk dengan para teman-teman lainnya. Meski dengan
Iman aku masih terlalu sulit untuk mengerjarnya. Nilai indeks prestasi yang
kuperoleh tak pernah melewati angka tiga koma lima. Itu pula yang menjadikanku
akan dengan mudah lulus dari jenjang S1.
Rentetan proses
menuju kelulusanpun aku ikuti dengan tertib. Mulai dari pengajuan judul,
pertanggungjawaban hasil proposal hingga ujian kompre telah aku lalui dengan
lancer. Meski sesekali aku harus mendapati revisi. Begitu juga Iman sahabat
sejurusan dan sekampung halaman selama aku dibangku perkuliahan. Meski banyak
sahabat-sahabatku yang lain tapi bagiku dia adalah sahabat special. Mungkin
karena rasa dalam parade puisi dulu. Atau karena kebaikan dan sikap pedulinya,
aku membuat ruang sendiri untuknya. Dia juga disibukkan dengan tugas-tugas
akhir perkuliahan. Sesekali kami mondar-mandir berbarengan dan jalan bersama
untuk melepas penat.
*****
Hari yang paling ditunggu sekaligus menegangkanpun tiba. Sidang
skripsi. Akupun mulai merasakan ketegangan dalam hati. Tapi aku yakin aku bisa
setelah beberapa jalan usaha kulalui. Tiba saat giliranku. Dengan hati tenang,
pikiran focus dan doa dari kedua orang tuaku aku mulai mempresentasikan hasil
penelitianku dihadapan empat penguji. Ucapan semangat dari Iman sebelum
memasuki ruang ujian juga menjadi kekuatan bagiku melalui masa genting ini. Dua
puluh menit berlalu. Akupun dengan lega dapat menghirup oksigen tanpa harus
terhantui dengan tugas, deadline dan iming-iming siding.
Sehari setelah sidang,
seperti biasa Iman mengajakku keluar hanya untuk menyusuri sepanjang jalan
Malioboro. Tapi kali ini ia memilih waktu di sore hari hingga malam menyapa
nanti. Dengan alasan merayakan kebebasan dari segala peraturan yang terikat
selama empat tahun lalu. Begitu juga aku yang tak pernah bisa menolak
ajakannya. Aku hanya menuruti dan meng-iyakan ajakan itu.
Malampun
menghampiri dalam perjalanan pelepas penatku dan dia. Sesekali kami mampir kemasjid
sekitar untuk menunaikan ibadah shalat magrib. Lalu kami lanjutkan perjalanan
kami menyusuri setiap jalanan jogja dengan hiasan lampu-lampu kuning yang
betengger disepanjang jalan. Setelah rasa pegal singgah dikaki kami. Akhirnya
dia memutuskan untuk membeli jasa becak yang ada pangkalan.
“Seru ya
jalan-jalan malam gini”
“Hehe, iya soalnya
tanpa beban” Jawabku ringan dengan rasa canggung.
“Hehe. Habis ini
kamu lanjut kemana?”
“Masih pengennya
cari kerja dulu Man. Kamu?”
“Emmm. Kalo aku
pengen keluar negeri Sa, pengen cari pengalaman diluar biar gak dikandang
sendiri terus”
Hening mulai
menyapa kami berdua. Sedangkan aku mulai merasa sedikit kehilangan dengan
jawabannya. Entah mengapa rasa itu timbul dilubuk hatiku.
“Sa. Boleh aku
jujur”
“Jujur? Tentang
apa Man?”
“Tentang hati ini.
Sejak pertama aku mengenalmu dan berbagi cerita denganmu. Saat itu pula mulai
tumbuh benih rasa itu untukmu”
Letupan bom
seakan-akan ada didalam hatiku. Aku bergumam tak percaya pada diri sendiri.
Apakah yang dikatakan Iman benar-benar sungguh dari dalam hati. Tapi setahuku
dia memang tak pernah sesekali berpacaran dengan perempuan manapun. Dan tanpa
sepatah jawaban yang terlontar dari mulutku. Seakan membeku dalam kegembiraan.
“Sorry Sa.
Kalo ungkapanku tadi menyinggung perasaanmu. Tapi setidaknya aku lega karena
kau telah mengetahui isi hati ini yang telah lama terkubur”
“Nggak Man. Kamu
gak salah kok. Semua orang pantas berkata seperti itu”
“Terima kasih Sa.
Pribadi lembut dan santunmu yang membuatku ingin menjadikanmu teman hidupku”
Jawaban Iman yang
yang begitu mengejutkan lagi membuatku harus membungkam mulutku. Karena tak
satu kata mampu kukata untuk menjawabnya.
“Mas, Mbak sudah
sampe” Ucap tukang becak pada kami
berdua
“Oh iya pak.
Saking asyiknya kita sampe lupa. Terima kasih pak”
Akhirnya kami
mulai berjalan lagi menuju kembali pulang dengan hati yang tak menentu. Tanpa
jawaban dariku dengan kepastian yang kuberikan padanya.
“Kau masih ingat
bait-bait puisiku lima tahun silam yang lalu Sa. Tasbih Rinduku. Maukah kau
menugguku hingga tiba waktunya nanti”
“Aku tak tahu Man.
Bagaimana tuhan menulis takdir kita nanti. Aku hanya bisa berdo’a semoga yang
kau inginkan sama seperti yang tuhan gariskan pada hidup ku dan kau”
“Amin”
Hanya lantunan doa
dan rasa pasrah diri yang bisa kukatakan pada Iman. Entah nanti semua impian
itu kan nyata atau hanya hiasan indah dalam hidup ini. Ku biarkan takdir
menjawab semua impian ini.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar